Kamis, 20 Februari 2014



BAB 1
TRANSISI


            Pagi ini cuaca redup, embun pagi masih bergantung di pucuk-pucuk daun. Beberapa menit kemudian, mentari menampakan sinar hangatnya. Hening. Masih terlalu pagi di kediaman Paman Narto dan Bi Inah.
            Menit demi menit, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Sekarang aku berumur 13 tahun. Dan tentunya sekarang aku sudah duduk di bangku SMA.
            Ya, namaku Windu Hendarko. Lahir dari provinsi Jawa Tengah sebelah timur, tepatnya di kabupaten Wonosobo yang berada di pelosok desa kalikarung. Tetapi daerah tempat lahirku itu sudah jauh dari ragaku. Lantaran Ayah sudah berhasil memindahkanku dari kota Wonosobo ke Yogyakarta.
            Wonosobo dan Yogyakarta memang masih wilayah jawa tengah. Walaupun  masih satu provinsi, namun dari kedua kota ini mempunya ciri khas yang begitu tampak berbeda.  Begitu banyak potensi kekayaan Wonosobo seperti baik prasasti-prasasti peninggalan nenek moyang terdahulu, maupun hasil pertaniannya seperti kentang yang begitu melimpah. Namun sangat disayangkan dengan potensi kekayaan alamnya itu, masih banyak warga wonosobo yang hidup digaris kemiskinan. Akses pendidikan yang begitu minim membuat warga wonosobo kurang begitu mengeksplorasi potensi mereka, dan mereka hanya berfikir untuk satu hari kedepan, bukan 10 atau 20 kedepan. Batu loncatan tak mereka pikirkan, yang ada dipikiran meraka hanyalah bisa makan untuk esok hari itu sudah cukup.
       Kalo bicara tentang Yogyakarta pasti sedikit mengarah tentang keraton. Namun bukan itu yang membuat aku kagum akan kota ini. Tetapi sosok Pahlawan Kemerdekaan Indonesia yaitu Muhammad Darwisy atau dikalangan masyarakat lebih menganalnya dengan KH. Ahmad Dahlan.
       Beliau merupakan Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Sejak kecil beliau mendapatkan didikan dalam lingkungan pesantren. Pesantren itu sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Beliau menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di situlah beliau berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam. Sayangnya aku sedikit lupa siapa saja nama tokoh-tokoh Islam tersebut. Yang pasti buah pemikiran tokoh-tokoh Islam itu mempunyai pengaruh yang begitu besar pada sosok KH. Ahmad Dahlan. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan ke-Islaman, yang dimana sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks atau bisa dibilang kolot. Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi atau keterbelakangan ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau permurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Nah, Pada usia 20 tahun, ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan. Penggantian nama ini suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya. Mungkin nanti bila aku sepulang haji namaku bisa diganti dengan nama-nama tokoh agama Islam menjadi Windu  Syeh Al-Imron. Bukan Indarto lagi yang membelakangi akan nama Windu.  
  Muhammad Darwisy atau Ahmad Dahlan ini sepulangnya dari Makkah, beliau diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
            Sungguh mulia apa yang dikerjakan tokoh Ahmad Dahlan ini, semoga kelak aku akan memperjuangkan perjuangannya untuk permurnian ajaran Islam khususnya di negaraku Indonesia dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
            Aku mengetahui akan sosok Pahlawan Nasional ini ketika hari Jum’at lalu yang dimana ketika aku solat jum’at khotib menjelaskan tentang ajaran Islam yang sebenar-benarnya melalui perjuangan Muhammad Darwisy atau KH. Ahmad Dahlan ini.
            Namun kekaguman itu tak menjadi milik Ahmad Dahlan semua, lantaran aku lebih kagum dengan perjuangan sosok Ayah dan Ibu.
            Cerita ini aku dapatkan dari Bi Inah minggu lalu saat aku dan bi Inah menanti sore sambil duduk santai di atas kursi teras sembari memandangi bebek peliharaan suaminya. Ya, dia bi Inah. Dia merupakan istri Paman Narto. Dia juga yang sudah merawatku dari umur 2 tahun hingga sekarang aku sudah 15 tahun. Perlu diketahui untuk keperluan biaya sekolah pastinya tak sepenuhnya mereka yang membiayaiku. Ayah yang tiap bulannya mengirimkan mereka uang untuk keperluan tetek bengek seperti uang makan dan sekolah.  Paman yang profesinya peternak bebek tak mungkin mau memeliharaku bila tak ada uang kiriman dari Ayah.         
            Kekosongan yang hanya di rasakan Paman dan Bi Inah ketika aku belum ada. Pernikahan 10 tahun yang  sudah lama mereka jalani tak kunjung diberikannya keturunan. Mungkin dengan adanya aku, mereka harus berterimakasih kepada Tuhan dan Ayah, lantaran hidup mereka menjadi lebih berwarna karena mereka dapat merasakan bagaimana mengurusi seorang anak, dan bagaimana merasakan badelnya anak laki-laki sepertiku ini.
            Isi cerita bi Inah ialah saat Ayah dan aku tiba di Yogyakarta. Ayah menceritakan kejadian dimana proses ketika aku terlahir di dunia kepada bi Inah, yaitu dimana ketika malam tiba, ibu yang sedang menyiapkan makan malam untuk suaminya itu, tiba-tiba merasakan begitu sakitnya dibagian perut. Perut yang sudah hamil tua itu rasanya mau pecah. Mungkin rasa sakitnya itu karena saat aku masih didalam kandungan merasakan gerah dan meronta ingin cepat keluar dari isi perut ibu.
            Ayah yang ketika itu panik melihat ibu kesakitan, seketika bingung. Entah apa yang harus ia lakukan. Malam sudah semakin larut, tak ada bidan yang dapat dimintain tolong, tak ada puskesmas, bila ada itu juga pasti sudah tutup. Kalo misalkan kerumah sakit pasti Setio berfikir beribu kali. Hasil berladang kentangnya tak cukup menutupi  biaya kelahiran.  Tak ada uang. Tak ada biaya yang harus ia keluarkan. Bila istrinya ini harus dibawa kerumah sakit.jarak pun menjadi alasan Setio untuk membawa istrinya ke rumah sakit. 
            Alhasil Setio lari keluar rumah dan berteriak meminta tolong kepada warganya bila istrinya mau melahirkan. Teriakan itu sontak membuat warga terbangun dan heboh. Mungkin warga kaget dengan terikana Setio yang mungkin warga mengira akan terjadinya kebakaran, maling atau gempa bumi sekaligus.
            Bila aku membayangkan kejadian itu, cukup lucu juga tingkah Ayah.          Teriakan itu cukup berhasil membuat simpatik warga sekitar. Warga yang mendengar teriakan itu mereka terbangun dan berduyun-duyun keluar kamar.
“Ono opo iki...ono opo”. Tanya salah satu warga.
Setio dengan lantang menjawab, “Istriku mau melahirkan”.
            Beruntung dalam kerumunan warga, muncul sosok laki-laki berkopiah putih yang menyarankan untuk mengantarkan istrinya itu ketempat mak Nanik yaitu dukun kondang yang dimana sudah terkenal ditelinga warga. Saran itu terucap dari mulut laki-laki berkopiah putih dengan perawakan sedang, dia adalah Pak Darman yang dimana dia merupakan orang yang begitu disegani oleh warga sekitar. Karisma dan kewibawaannya untuk mengayomi warga yang jelas membuat dia terpilih menjadi  ketua rt .
            Saran ketua rt itu namun perlu diketahui bahwa walaupun Mak Nanik terkenal sebagai dukun, tapi dia tidak mempunyai ilmu-ilmu yang tak masuk akal seperti dukun lainnya. Yang biasanya dukun terkenal akan kehebatan dalam soal santet menyantet, ataupun pesugihan apalah itu. Payahnya Mak Nanik hanya mempunyai teknik persalinan dan urut mengurut atau  tepatnya tukang pijet. Kekondangannya itu pun belum terbukti 100%, lantaran Setio belum begitu mengenal akan sosok mak Nanik. Kesibukan berladang kentangnya itulah yang mungkin Setio tidak mengnali keberadaan mak Nanik sebagai dukun kondang di desanya.
            Tanpa pikir panjang dan rasa malu, Setio meminta Pak Darman untuk mengantarkannya ke tempat dukun itu. Setio dan istrinya pun diantarkannya menggunakan mobil bak terbuka.
Dipertengahan jalan hampir saja mobil yang mereka tunggangi mengalami selip, lantaran hujan yang mengguyur tadi sore yang membuat bagian ruas jalan tergenang. Beginilah potret jalanan yang tampak bolong sana sini. Sudah lama jalan ini rusak. Tak ada pemerintah daerah yang mencoba memperbaiki jalan ini secara total, kalo musim pemilu tiba, tampak caleg yang mulai mendekati warga sekitar untuk bergotong royonng memperbaiki jalan, itupun tidak di aspal total, melainkan hanya tambal sulam dengan semen. 
            Selama kurang lebih 30 menit, akhirnya sampailah rombongan ini di tempat dukun beranak. Setio langsung menuntut istrinya supaya berdiri, tangannya begitu kuat memegang bahunya. Lalu dibukakanlah pintu bagian belakang dari bak mobil tersebut oleh pak darman. Setio pun menyuruh istrinya untuk berpegangan kepada pak Darman yang memang sudah bersiap-siap untuk membantuk istrinya itu  turun dari bak mobil. Tangan kiri yani yang masih menggenggam erat tangan setio mencoba melepaskan untuk meraih tanga pak Darman, dengan cekatan pak Darman meraih tangan Yani dan berusaha menopang tangan tersebut supaya Yani tidak terjatuh.  
            Perlahan tapi pasti akhirnya Yani dapat turun dari bak mobil.   
            Setibanya sampai teras, Setio mengetuk pintu rumah mak Nanik dengan kencang sembari memanggil nama mak Nanik
“Mak Nanik....tolong mak tolong”. Teriak Setio.
Mak Nanik yang sedang tertidur pulas lantaran memang malam sudah semakin larut akhirnya tak lama kemudian pintu yang tadinya diketuk-ketuk oleh Setio terbuka. Terlihat sosok nenek-nenek dengan tubuh yang sedikit bongkok keluar dari balik pintu. Saat nenek itu membuka pintu dan melihat rombongan yang tampak sedikit kocar-kacir kebingungan ini langsung menyuruh untuk masuk kedalam rumahnya. 
            Ketika memasuki rumah, Setio melihat tampak didalam rumah dukun itu terdapat ruangan berukuran 3x4 meter. Ruangan itu tak disekat dengan tembok maupun papan kayu, melainkan disekat dengan kordeng berwarna hijau tua. Ruangan itu sepertinya memang sengaja disiapkan khusus untuk para pasiennya. Saat memasuki ruang tamu, tak lama kemudian rombongan ini dijamu oleh wanita dengan perawakan semampai, rambut yang dikuncir keatas bulat seperti bola tenis. Dia adalah anak dari dukun itu. Dipersilahkanlah suami istri ini memasuki ruang kamar yang berukuran sekitar 3x4 meter yang disekat dengan kordeng berwarna hijau itu.
            Tanpa basa basi Mak Nani langsung menyiapkan peralatannya. Tangan kirinya membawa kotak hitam. Entah apa isin yang ada di dalam kotak itu dan  apa yang akan dilakukannya nanti. Yang jelas dia tidak memperbolehkan Setio memasuki ruangan itu, dan menyuruhnya untuk keluar meninggalkan istrinya diluar.  
            Susana semakin kesini semakin tegang, gelisah dan sedikit ngilu, yang Setio rasakan bila mendengar istrinya menjerit memanggil manggil namanya.
“Mas..mas..”. teriak Ibu         
            Setelah lama menunggu, akhirnya rombongan ini mendengar tangisan pertamaku. Tangisan polos yang tampak lenting aku lontarkan. Namun dari kelahiranku, raut wajah dukun kondang ini tampak kebingungan dan murung. Entah apa yang ada dipikirannya. Sesekali Setio melihat dukun ini keluar masuk kamar dengan mimik datar.
            Ayah mulai ikut cemas, entah apa yang disembunyikan oleh dukun itu. Gerak-geriknya tampak mencurigakan.
Owek...owek...owekk
Rengekak itu masih tetap terdengar dari ruang tamu.
Lalu...
Kreeeek...
Dibukanya kordeng penutup kamar.
            Dari gordeng itu, tampak keluar Mak Nanik dan jabang bayi yang digendong lengkap dengan tali pusarnya. Jabang bayi itu ya siapa lagi kalu bukan aku. Dukun itu memindahkan aku keruangan sebelah.
“Nduk..ndukkk”. suara itu keluar terucap dari ruang kamar sebelah.
Suara mak nanik yang semakin kesini semakin kencang dan terburu-buru saat mencoba memanggil anaknya. Mungkin mak nanik minta bantuan kepada anaknya entah itu untuk menggunting tali pusarku atau apa, yang pasti  suasana semakin kesini semakin mencekam.
Kreeek...
            Dibukanya kordeng yang tadinya menutupi kamar tempat dimana disitu ada istri Setio. Dari kordeng itu keluarlah dukun kondang yang sedari tadi Setio melihat dia sangat super sibuk. Terlihat dari cara jalannya yang begitu terburu-buru keluar masuk kamar.
            Dengan nafas yang terengah-engah, mak Naik menghampiri Setio dan mencoba untuk berbiara dengan Setio. Dipersilahkanlah Setio untuk melihat keadaan istrinya. Namun bukan rasa haru yang keluar dari setio, tangislah yang sontak keluar dari setio yang melihat istrinya tak bernyawa lagi.
            Setio yang tampak kebingungan dan mencoba membujuk dukun kondang itu untuk berusaha menyelamatkan Istrinya dari maut yang tak kenal tempat dan waktu, menjemput dari kediaman dukun kondang ini.
            Namun nasi telah menjadi bubur, istrinya mengalami pendarahan hebat tak dapat diselamatkan oleh dukun kondang ini. 
            Beruntung, aku terhindar dari maut.
            Cerita itu juga yang membuat aku teringat ketika aku tiba di Yogyakarata, dengan tatapan polos, aku melihat wajah Ayah tampak bercucuran keringat. Kakinya berusaha meraba tangga untuk turun dari bus. Tangannya masih kuat menggendongku dibagian depan. Kernek bus juga ia libatkan dalam proses turunnya dari bus untuk membawakan koper yang ekstra besar itu keluar dari bus.     Entah saat itu aku umur berapa, namun semuanya seakan masih teringat jelas akan memori otak ini.
            Usai menuruni bus, kulihat lagi kearah wajah Ayah. Mukanya semakin memerah, keringatnya mulai mengucur deras. Memang saat itu cuaca begitu panas ditambah lagi dengan polusi udara yang bercampur-baur dengan debu-debu yang berterbangan bila ada bus yang melintas.  
            Sesekali suara batuk terdengar dari pendengaranku. Ayah tampaknya mulai kelelahan. sambil menggendong dan kenyeret koper, langahnya menuju warung asongan dan dari situ aku tak teringat lagi apa yang aku dan Ayah lakukan pada saat itu diterminal. Yang pasti aku turun dari andong ketika sampainya dirumah Paman dan Bi Inah. Mereka menyambut kita dengan penuh senyum dan sesekali mereka mencoba  menimang-nimang aku dengan ucapan yang sengaja mereka cadel-cadelkan.
“uluh-uluh anak ciapa ini”. Timangan Bi Inah.
            Baik, aku yang dulunya tak tau apa-apa akhirnya dititipkan di Yogyakarta,  yaitu di tempat adik dari Ayahku. Entah apa yang membuat Ayah melakukan ini. Ayah meminta aku tetap duduk disini, dikursi bambu yang ada diteras rumah. Entah hal konyol apa yang akan Ayah lakukan ketika itu kepada anak semata wayangnya.
            “Kamu disini betah ya dek ya....
            kalo kamu tinggal disini mau ya dek ya”. Ujar Ayah sambil menggendongku.
            Aku tidak tau apa maksud dari perkataan yang dilontarkan Ayah kepadaku. Dari kalimat itu nampak seperti ada misi yang disembunyikan terhadapku.  Ayah yang tadinya menggendongku lalu meminta aku untuk duduk di kursi teras. Setelah Ayah menyuruhku untuk tetap duduk di kuri, ayah menghampiri bibi yang saat itu sedang nyirami tanaman depan halaman rumah. Ayah berbisik kepada Bi Inah, namun entah apa yang dibisikannya itu. Aku yang tidak tau menau urusan orang dewasa tetap duduk di kursi bambu yang memang sengaja di sediakan Paman untuk bersantai dan melihat keadaan bebek-bebek peliharaannya. Sesekali aku menolehkan pandangan ke kiri dan ke kanan, air liur juga tak lupa untuk aku mainkan. ____
            Tekluk...tekluk....tekluk...
            Derap langkah sepatu pantopel itu semakin kesini semakin jelas. Pandanganku yang tadinya sempat liar, lalu aku focuskan kembali kearah Ayah. Nampaknya bisikan meraka berdua sudah usai.
            Ayah kembali menghampiriku. Pagi itu Ayah terlihat tampak rapi, kemeja coklat yang ia kenakan sangat terlihat jelas garis lurus pada lengannya. Apa itu menandakan Ayah ingin mengajakku jalan-jalan? Bisa jadi, atau ingin mengajaku pulang kerumah?
TIDAAAAAAAAAAK !!
Semuanya SALAH !!!
            Tangan kirinya mengusap-usap rambutku yang saat itu masih normal dan belum gimbal seperti sekarang ini. Tiba-tiba Ayah mencium dan langsung mendekapku. Tampak ada yang tidak beres, aku gak tau ini pertanda apa.
            Usai memelukku tiga sampai empat kali, Ayah berbicara kepadaku.
“Dede betah gak dini?”. Ujar ayah sambil melihatku dengan mata mulai berbinar.
Pertanyaan itu kembali lagi terucap dari mulut Ayah. Aku yang masih belum mengerti apa maksud dari pertanyaannya hanya diam dan mengalihkan pandangan kedua bola mata ke arah Bi Inah yang berada di samping kanan Ayah.
            Saat pandangan itu masih tertuju kepada Bi Inah, Ayah berbicara kepadaku lagi.
“Dedek disini dulu ya sama Bi Inah
Ayah mau mandi dulu di sendang”. Permintaan izin itu terucap dari mulut Ayah sambil menalikanku pada tali yang tersambung dengan balon gas. Enatah mengapa Ayah mengikatkanku dengan balon gas, mungkin supaya aku ikut terbang bersama balon gas yang berisi gas dan alhasil misi pelariannya pasti akan lebih mulus dan sukses.
Permintaan itu dengan polosnya aku hiraukan, lantaran aku masih tetap asik memainkan balon gas yang diberikannya Ayah.
            Beruntung aku tak menangis saat Ayah mulai misi pelariannya itu. Bi Inah mengalihkan pandanganku dengan menggendong dan menimang. Andai saja saat itu aku sudah bisa menganalisis kejadian itu pasti Ayah tak akan berhasil untuk melakukan misi pelariannya. Karena bila dipikir-pikir alasan Ayah tidak nyambung bila dilihat dengan penampilannya saat itu. Dengan pakaian rapi namun beralasan mau mandi? Tampaknya Ayah harus merevisi alasan itu supaya nantinya aku tak berdepat dengannya.  
            Masih mengingat masa lalu. Beberapa jam aku menunggu, Ayahku tak kunjung datang. Aku ketika itu merengek dengan memanggil nama Ayah, namun beliau tak kunjung datang. Akhirnya istri dari pamanku menggendongku dan mengantarku ke Sendang yang dikatakan Ayah, namun ternyata Ayahku tetap tidak ada. Rengekanku semakin kencang, tanganku yang enggan melepasnya untuk tetap di gendongan Bi Inah. Akhirnya aku dan Bi Inah kembali kerumah, disana aku tetap merengek memanggil nama Ayah. Bi Inah yang tak kuasa melihat rengekan yang semakin kencang akhirnya menceritakan apa yang terjadi.
            “Nak, Ayah sudah ke Jakarta, Ayah disana cari uang buat kamu”. Ujar Bi Inah dengan nada lirih.
            Aku yang tak tau akan kehidupanku nanti, aku tetap merengek memanggil Ayah dan Ayah. Kelak dengan rengekan itu Ayah kembali menemuiku lagi dan membawaku pulang.