BAB 1
TRANSISI
Pagi
ini cuaca redup,
embun pagi masih bergantung di pucuk-pucuk daun. Beberapa menit kemudian, mentari menampakan sinar hangatnya. Hening. Masih terlalu
pagi di kediaman Paman Narto dan Bi Inah.
Menit
demi menit, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Sekarang aku
berumur 13 tahun. Dan tentunya sekarang
aku sudah duduk di bangku SMA.
Ya, namaku Windu Hendarko.
Lahir dari provinsi Jawa Tengah sebelah timur, tepatnya di kabupaten Wonosobo
yang berada di pelosok desa kalikarung. Tetapi daerah tempat lahirku itu sudah
jauh dari ragaku. Lantaran Ayah sudah berhasil memindahkanku dari kota Wonosobo
ke Yogyakarta.
Wonosobo dan Yogyakarta
memang masih wilayah jawa tengah. Walaupun
masih satu provinsi, namun dari kedua kota ini mempunya ciri khas yang
begitu tampak berbeda. Begitu banyak
potensi kekayaan Wonosobo seperti baik prasasti-prasasti peninggalan nenek
moyang terdahulu, maupun hasil pertaniannya seperti kentang yang begitu
melimpah. Namun sangat disayangkan dengan potensi kekayaan alamnya itu, masih
banyak warga wonosobo yang hidup digaris kemiskinan. Akses pendidikan yang
begitu minim membuat warga wonosobo kurang begitu mengeksplorasi potensi
mereka, dan mereka hanya berfikir untuk satu hari kedepan, bukan 10 atau 20 kedepan.
Batu loncatan tak mereka pikirkan, yang ada dipikiran meraka hanyalah bisa
makan untuk esok hari itu sudah cukup.
Kalo bicara
tentang Yogyakarta pasti sedikit mengarah tentang keraton. Namun bukan itu yang
membuat aku kagum akan kota ini. Tetapi sosok Pahlawan Kemerdekaan Indonesia
yaitu Muhammad Darwisy atau dikalangan masyarakat lebih menganalnya
dengan KH. Ahmad Dahlan.
Beliau merupakan Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Sejak kecil beliau mendapatkan didikan dalam lingkungan pesantren. Pesantren itu sekaligus
menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Beliau menunaikan
ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut
ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di situlah beliau berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam. Sayangnya aku sedikit
lupa siapa saja nama tokoh-tokoh Islam tersebut. Yang pasti buah pemikiran
tokoh-tokoh Islam itu mempunyai pengaruh yang begitu besar pada sosok KH. Ahmad
Dahlan. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini
yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui
Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan
ke-Islaman, yang dimana sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat
ortodoks atau bisa dibilang kolot. Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi atau keterbelakangan ummat Islam.
Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan
diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau permurnian ajaran Islam dengan
kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Nah, Pada usia 20 tahun, ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji
Ahmad Dahlan. Penggantian nama ini suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia
yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya.
Mungkin nanti bila aku sepulang haji namaku bisa diganti dengan nama-nama tokoh
agama Islam menjadi Windu Syeh Al-Imron.
Bukan Indarto lagi yang membelakangi akan nama Windu.
Muhammad Darwisy atau Ahmad Dahlan ini sepulangnya dari Makkah, beliau diangkat menjadi Khatib
Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam
ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sungguh mulia apa yang
dikerjakan tokoh Ahmad Dahlan ini, semoga kelak aku akan memperjuangkan
perjuangannya untuk permurnian ajaran Islam khususnya
di negaraku Indonesia dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Aku mengetahui akan sosok Pahlawan
Nasional ini ketika hari Jum’at lalu yang dimana ketika aku solat jum’at khotib menjelaskan tentang ajaran Islam
yang sebenar-benarnya melalui perjuangan Muhammad Darwisy atau KH. Ahmad Dahlan
ini.
Namun
kekaguman itu tak menjadi milik Ahmad Dahlan semua, lantaran aku lebih kagum
dengan perjuangan sosok Ayah dan Ibu.
Cerita ini aku dapatkan
dari Bi Inah minggu lalu saat aku dan bi Inah menanti sore sambil duduk santai
di atas kursi teras sembari memandangi bebek peliharaan suaminya. Ya, dia bi
Inah. Dia merupakan istri Paman Narto. Dia juga yang sudah merawatku dari umur
2 tahun hingga sekarang aku sudah 15 tahun. Perlu diketahui untuk keperluan
biaya sekolah pastinya tak sepenuhnya mereka yang membiayaiku. Ayah yang tiap
bulannya mengirimkan mereka uang untuk keperluan tetek bengek seperti uang makan dan sekolah. Paman yang profesinya peternak bebek tak
mungkin mau memeliharaku bila tak ada uang kiriman dari Ayah.
Kekosongan yang hanya di
rasakan Paman dan Bi Inah ketika aku belum ada. Pernikahan 10 tahun yang sudah lama mereka jalani tak kunjung
diberikannya keturunan. Mungkin dengan adanya aku, mereka harus berterimakasih
kepada Tuhan dan Ayah, lantaran hidup mereka menjadi lebih berwarna karena
mereka dapat merasakan bagaimana mengurusi seorang anak, dan bagaimana
merasakan badelnya anak laki-laki sepertiku ini.
Isi
cerita bi Inah ialah saat Ayah dan aku
tiba di Yogyakarta. Ayah menceritakan kejadian dimana proses ketika aku
terlahir di dunia kepada bi Inah, yaitu dimana ketika malam tiba, ibu yang
sedang menyiapkan makan malam untuk suaminya itu, tiba-tiba merasakan begitu
sakitnya dibagian perut. Perut yang sudah hamil tua itu rasanya mau pecah.
Mungkin rasa sakitnya itu karena saat aku masih didalam kandungan merasakan
gerah dan meronta ingin cepat keluar dari isi perut ibu.
Ayah
yang ketika itu panik melihat ibu kesakitan, seketika bingung. Entah apa yang
harus ia lakukan. Malam sudah semakin larut, tak ada bidan yang dapat dimintain
tolong, tak ada puskesmas, bila ada itu juga pasti sudah tutup. Kalo misalkan
kerumah sakit pasti Setio berfikir beribu kali. Hasil berladang
kentangnya tak cukup menutupi biaya
kelahiran. Tak ada uang. Tak ada biaya yang harus ia
keluarkan. Bila istrinya ini harus dibawa kerumah sakit.jarak pun menjadi
alasan Setio untuk membawa istrinya ke rumah sakit.
Alhasil
Setio lari keluar rumah dan berteriak meminta tolong kepada warganya bila
istrinya mau melahirkan. Teriakan itu sontak membuat warga terbangun dan heboh.
Mungkin warga kaget dengan terikana Setio yang mungkin warga mengira akan terjadinya
kebakaran, maling atau gempa bumi sekaligus.
Bila
aku membayangkan kejadian itu, cukup lucu juga tingkah Ayah. Teriakan itu cukup berhasil membuat
simpatik warga sekitar. Warga yang mendengar teriakan itu mereka terbangun dan
berduyun-duyun keluar kamar.
“Ono opo iki...ono opo”. Tanya salah satu warga.
Setio dengan lantang menjawab, “Istriku mau
melahirkan”.
Beruntung
dalam kerumunan warga, muncul sosok laki-laki berkopiah putih yang menyarankan
untuk mengantarkan istrinya itu ketempat mak Nanik yaitu dukun kondang yang
dimana sudah terkenal ditelinga warga. Saran itu terucap dari mulut laki-laki
berkopiah putih dengan perawakan sedang, dia adalah Pak Darman yang dimana dia
merupakan orang yang begitu disegani oleh warga sekitar. Karisma dan
kewibawaannya untuk mengayomi warga yang jelas membuat dia terpilih
menjadi ketua rt .
Saran
ketua rt itu namun perlu diketahui bahwa walaupun Mak Nanik terkenal
sebagai dukun, tapi dia tidak mempunyai ilmu-ilmu yang tak masuk akal seperti
dukun lainnya. Yang biasanya dukun terkenal akan kehebatan dalam soal santet
menyantet, ataupun pesugihan apalah itu. Payahnya Mak Nanik hanya mempunyai
teknik persalinan dan urut mengurut atau
tepatnya tukang pijet. Kekondangannya
itu pun belum terbukti 100%, lantaran Setio belum begitu mengenal akan sosok
mak Nanik. Kesibukan berladang kentangnya itulah yang mungkin Setio tidak
mengnali keberadaan mak Nanik sebagai dukun kondang di desanya.
Tanpa
pikir panjang dan rasa malu, Setio meminta Pak Darman untuk mengantarkannya ke
tempat dukun itu. Setio dan istrinya pun diantarkannya menggunakan mobil bak
terbuka.
Dipertengahan jalan hampir saja mobil yang
mereka tunggangi mengalami selip, lantaran hujan yang mengguyur tadi sore yang
membuat bagian ruas jalan tergenang. Beginilah potret jalanan yang tampak
bolong sana sini. Sudah lama jalan ini rusak. Tak ada pemerintah daerah yang
mencoba memperbaiki jalan ini secara total, kalo musim pemilu tiba, tampak
caleg yang mulai mendekati warga sekitar untuk bergotong royonng memperbaiki
jalan, itupun tidak di aspal total, melainkan hanya tambal sulam dengan
semen.
Selama
kurang lebih 30 menit, akhirnya sampailah rombongan ini di tempat
dukun beranak. Setio
langsung menuntut istrinya supaya berdiri, tangannya begitu kuat memegang
bahunya. Lalu dibukakanlah pintu bagian belakang dari bak mobil tersebut oleh
pak darman. Setio pun menyuruh istrinya untuk berpegangan kepada pak Darman
yang memang sudah bersiap-siap untuk membantuk istrinya itu turun dari bak mobil. Tangan kiri yani yang
masih menggenggam erat tangan setio mencoba melepaskan untuk meraih tanga pak
Darman, dengan cekatan pak Darman meraih tangan Yani dan berusaha menopang
tangan tersebut supaya Yani tidak terjatuh.
Perlahan
tapi pasti akhirnya Yani dapat turun dari bak mobil.
Setibanya sampai teras, Setio mengetuk pintu
rumah mak Nanik dengan kencang sembari memanggil nama mak Nanik
“Mak Nanik....tolong mak tolong”. Teriak Setio.
Mak Nanik yang
sedang tertidur pulas lantaran memang malam sudah
semakin larut akhirnya tak lama kemudian pintu yang tadinya diketuk-ketuk oleh
Setio terbuka. Terlihat sosok nenek-nenek dengan tubuh yang sedikit bongkok
keluar dari balik pintu. Saat nenek itu membuka pintu dan melihat rombongan
yang tampak sedikit kocar-kacir kebingungan ini langsung menyuruh untuk masuk
kedalam rumahnya.
Ketika
memasuki rumah, Setio melihat tampak didalam rumah dukun itu terdapat
ruangan berukuran 3x4 meter. Ruangan itu
tak disekat dengan tembok maupun papan kayu, melainkan disekat dengan kordeng
berwarna hijau tua. Ruangan itu sepertinya memang sengaja
disiapkan khusus untuk para pasiennya. Saat memasuki ruang tamu, tak lama kemudian rombongan ini dijamu oleh wanita dengan perawakan semampai, rambut yang
dikuncir keatas bulat seperti bola tenis. Dia adalah anak dari dukun itu. Dipersilahkanlah suami istri ini memasuki ruang
kamar yang berukuran sekitar 3x4 meter yang disekat dengan kordeng berwarna
hijau itu.
Tanpa basa basi Mak Nani langsung menyiapkan peralatannya. Tangan kirinya membawa kotak hitam. Entah apa isin yang
ada di dalam kotak itu dan apa yang akan dilakukannya nanti. Yang jelas dia
tidak memperbolehkan Setio memasuki ruangan itu, dan menyuruhnya untuk keluar meninggalkan istrinya diluar.
Susana semakin kesini
semakin tegang, gelisah dan
sedikit ngilu, yang Setio rasakan bila mendengar istrinya menjerit memanggil manggil namanya.
“Mas..mas..”. teriak Ibu
Setelah lama menunggu,
akhirnya rombongan ini mendengar tangisan pertamaku. Tangisan polos yang tampak lenting aku
lontarkan. Namun dari kelahiranku, raut wajah dukun kondang ini tampak
kebingungan dan murung. Entah apa yang ada dipikirannya. Sesekali Setio melihat dukun ini keluar
masuk kamar dengan mimik datar.
Ayah mulai ikut cemas,
entah apa yang disembunyikan oleh dukun itu. Gerak-geriknya tampak
mencurigakan.
Owek...owek...owekk
Rengekak itu masih tetap terdengar dari ruang tamu.
Lalu...
Kreeeek...
Dibukanya kordeng penutup kamar.
Dari gordeng itu,
tampak keluar Mak Nanik dan jabang bayi yang digendong lengkap dengan tali
pusarnya. Jabang bayi itu ya siapa
lagi kalu bukan aku. Dukun itu memindahkan aku keruangan
sebelah.
“Nduk..ndukkk”. suara itu keluar terucap dari
ruang kamar sebelah.
Suara mak nanik yang semakin kesini semakin
kencang dan terburu-buru saat mencoba memanggil anaknya. Mungkin mak nanik
minta bantuan kepada anaknya entah itu untuk menggunting tali pusarku atau apa,
yang pasti suasana semakin kesini
semakin mencekam.
Kreeek...
Dibukanya
kordeng yang tadinya menutupi kamar tempat dimana disitu ada istri Setio. Dari
kordeng itu keluarlah dukun kondang yang sedari tadi Setio melihat dia sangat
super sibuk. Terlihat dari cara jalannya yang begitu terburu-buru keluar masuk
kamar.
Dengan
nafas yang terengah-engah, mak Naik menghampiri Setio dan mencoba untuk berbiara dengan Setio. Dipersilahkanlah Setio untuk melihat keadaan istrinya. Namun bukan rasa
haru yang keluar dari setio, tangislah yang sontak keluar dari setio yang melihat
istrinya tak bernyawa lagi.
Setio
yang tampak kebingungan dan mencoba membujuk dukun kondang itu untuk berusaha
menyelamatkan Istrinya dari maut yang tak kenal tempat dan waktu, menjemput dari kediaman
dukun kondang ini.
Namun nasi telah menjadi bubur, istrinya mengalami pendarahan hebat tak
dapat diselamatkan oleh dukun kondang ini.
Beruntung, aku terhindar dari maut.
Cerita itu juga yang
membuat aku teringat ketika aku tiba di Yogyakarata, dengan tatapan polos, aku melihat wajah Ayah tampak bercucuran keringat.
Kakinya berusaha meraba tangga untuk turun dari bus. Tangannya masih kuat
menggendongku dibagian depan. Kernek bus juga ia libatkan dalam proses turunnya
dari bus untuk membawakan koper yang ekstra besar itu keluar dari bus. Entah saat itu aku umur berapa, namun
semuanya seakan masih teringat jelas akan memori otak ini.
Usai menuruni bus, kulihat
lagi kearah wajah Ayah. Mukanya semakin memerah, keringatnya mulai mengucur
deras. Memang saat itu cuaca begitu panas ditambah lagi dengan polusi udara
yang bercampur-baur dengan debu-debu yang berterbangan bila ada bus yang
melintas.
Sesekali suara batuk
terdengar dari pendengaranku. Ayah tampaknya mulai kelelahan. sambil
menggendong dan kenyeret koper, langahnya menuju warung asongan dan dari situ
aku tak teringat lagi apa yang aku dan Ayah lakukan pada saat itu diterminal.
Yang pasti aku turun dari andong ketika sampainya dirumah Paman dan Bi Inah.
Mereka menyambut kita dengan penuh senyum dan sesekali mereka mencoba menimang-nimang aku dengan ucapan yang
sengaja mereka cadel-cadelkan.
“uluh-uluh anak ciapa ini”. Timangan Bi Inah.
Baik, aku
yang dulunya tak tau apa-apa akhirnya dititipkan di Yogyakarta, yaitu di tempat adik dari Ayahku. Entah apa
yang membuat Ayah melakukan ini. Ayah
meminta aku tetap duduk disini, dikursi bambu yang ada diteras rumah. Entah hal
konyol apa yang akan Ayah lakukan
ketika itu kepada anak semata wayangnya.
“Kamu
disini betah ya dek ya....”
“kalo
kamu tinggal disini mau ya dek ya”. Ujar Ayah sambil menggendongku.
Aku tidak tau apa maksud dari perkataan yang dilontarkan Ayah kepadaku.
Dari kalimat itu nampak seperti ada misi yang disembunyikan terhadapku. Ayah yang tadinya menggendongku lalu meminta
aku untuk duduk di kursi teras. Setelah Ayah menyuruhku untuk tetap duduk di
kuri, ayah menghampiri bibi yang saat itu sedang nyirami tanaman depan halaman
rumah. Ayah berbisik kepada Bi Inah,
namun entah apa yang dibisikannya itu. Aku yang tidak tau menau urusan orang
dewasa tetap duduk di kursi bambu yang memang sengaja di sediakan Paman untuk
bersantai dan melihat keadaan bebek-bebek peliharaannya. Sesekali aku
menolehkan pandangan ke kiri dan ke kanan, air liur juga tak lupa untuk aku
mainkan. ____
Tekluk...tekluk....tekluk...
Derap
langkah sepatu pantopel itu semakin kesini semakin jelas. Pandanganku yang tadinya sempat liar, lalu aku focuskan kembali kearah Ayah.
Nampaknya bisikan meraka berdua sudah usai.
Ayah
kembali menghampiriku. Pagi itu
Ayah terlihat tampak rapi, kemeja coklat yang ia kenakan sangat terlihat jelas
garis lurus pada lengannya. Apa itu menandakan Ayah ingin mengajakku
jalan-jalan? Bisa jadi, atau ingin mengajaku pulang kerumah?
TIDAAAAAAAAAAK
!!
Semuanya SALAH
!!!
Tangan kirinya mengusap-usap
rambutku yang saat itu masih normal
dan belum gimbal seperti sekarang ini. Tiba-tiba Ayah mencium dan langsung
mendekapku. Tampak ada yang tidak beres, aku gak tau ini pertanda apa.
Usai memelukku tiga
sampai empat kali, Ayah berbicara kepadaku.
“Dede betah gak
dini?”. Ujar ayah sambil melihatku dengan mata
mulai berbinar.
Pertanyaan
itu kembali lagi terucap dari mulut Ayah. Aku yang masih belum mengerti apa
maksud dari pertanyaannya hanya diam dan mengalihkan pandangan kedua bola mata
ke arah Bi Inah yang berada di samping kanan Ayah.
Saat pandangan itu masih tertuju
kepada Bi Inah,
Ayah berbicara kepadaku lagi.
“Dedek disini
dulu ya sama Bi Inah”
“Ayah
mau mandi dulu di sendang”. Permintaan
izin itu terucap dari mulut Ayah sambil
menalikanku pada tali yang tersambung dengan balon gas. Enatah mengapa Ayah
mengikatkanku dengan balon gas, mungkin supaya aku ikut terbang bersama balon
gas yang berisi gas dan alhasil misi pelariannya pasti akan lebih mulus dan
sukses.
Permintaan itu
dengan polosnya aku hiraukan, lantaran aku masih tetap asik memainkan balon gas yang diberikannya Ayah.
Beruntung aku tak menangis saat Ayah
mulai misi pelariannya itu. Bi Inah mengalihkan pandanganku dengan menggendong
dan menimang. Andai saja saat itu aku sudah
bisa menganalisis kejadian itu pasti Ayah tak akan berhasil untuk melakukan
misi pelariannya. Karena bila dipikir-pikir alasan Ayah tidak nyambung bila
dilihat dengan penampilannya saat itu. Dengan pakaian rapi namun beralasan mau
mandi? Tampaknya Ayah harus merevisi alasan itu supaya nantinya aku tak berdepat
dengannya.
Masih
mengingat masa lalu. Beberapa jam aku menunggu, Ayahku tak
kunjung datang. Aku ketika itu merengek dengan memanggil nama Ayah, namun
beliau tak kunjung datang. Akhirnya istri dari pamanku menggendongku dan
mengantarku ke Sendang yang dikatakan Ayah, namun ternyata Ayahku tetap tidak
ada. Rengekanku semakin kencang, tanganku yang enggan melepasnya untuk tetap di
gendongan Bi Inah. Akhirnya aku dan Bi Inah kembali kerumah, disana aku tetap
merengek memanggil nama Ayah. Bi Inah yang tak kuasa melihat rengekan yang
semakin kencang akhirnya menceritakan apa yang terjadi.
“Nak, Ayah sudah ke Jakarta, Ayah
disana cari uang buat kamu”. Ujar Bi Inah dengan nada lirih.
Aku yang tak tau akan kehidupanku
nanti, aku tetap merengek memanggil Ayah
dan Ayah. Kelak dengan rengekan itu Ayah kembali menemuiku lagi dan membawaku
pulang.